Tuesday, 30 August 2011

Malam Takbiran yang Ternodai

Malam Takbiran yang Ternodai
Oleh Hanewv Nwaukawl
Saat melewati jalan Imogiri selepas shalat Tarawih, kami menyaksikan sepanjang jalan para pemuda bercampur pemudi melantukan takbiran. Namun ada musibah yang terjadi, lafazh takbiran tersebut malah diiringi dengan suara drum band. Takbiran saat ini memang bertambah aneh. Kalau mau dibilang amat jauh dari sunnah Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena takbiran yang mengagungkan Rabb mereka malah dicampur dengan maksiat.
Takbir di Penghujung Ramadhan
Allah Ta’ala berfirman, وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185). Kata Syaikh As Sa'di rahimahullah, "Ketika bulan itu sempurna, hendaklah bersyukur pada Allah Ta'ala karena taufik dan kemudahan bagi hamba-Nya. Syukur tersebut diwujudkan dalam bentuk takbir ketika Ramadhan itu selesai. Takbir tersebut dimulai ketika melihat hilal Syawal hingga berakhirnya khutbah 'ied." (Taisir Al Karimir Rahman, 87).
Yang dimaksud dengan takbir di sini adalah bacaan “Allahu Akbar”. Mayoritas ulama mengatakan bahwa ayat ini adalah dorongan untuk bertakbir di akhir Ramadhan. Sedangkan kapan waktu takbir tersebut, para ulama berbeda pendapat. Ada enam pendapat dalam hal ini: (1) takbir tersebut adalah ketika malam idul fithri, (2) takbir tersebut adalah ketika melihat hilal Syawal hingga berakhirnya khutbah Idul Fithri, (3) takbir tersebut dimulai ketika imam keluar untuk melaksanakan shalat ied, (4) takbir pada hari Idul Fithri, (5) yang merupakan pendapat Imam Malik dan Imam Asy Syafi’i, takbir ketika keluar dari rumah menuju tanah lapang hingga imam keluar untuk shalat ‘ied, (6) yang merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, takbir tersebut adalah ketika Idul Adha dan ketika Idul Fithri tidak perlu bertakbir (Lihat Fathul Qodir, 1/239).
Dalam suatu riwayat disebutkan,
كَانَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّر حَتَّى يَأْتِيَ المُصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْر

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya ‘Idul Fithri, lantas beliau bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.” (Dikeluarkan dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 171. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih). Dari riwayat ini, yang sesuai sunnah sebagaimana pula menjadi pendapat Imam Asy Syafi'i bahwa takbir Idul Fithri mulai dikumandangkan dari rumah menuju tanah lapang hingga imam keluar untuk shalat 'ied.
Takbiran yang Ternodai
Jika kita melihat agungnya mengagungkan nama Allah di atas, satu problema yang sangat disayangkan adalah pengagunggan terhadap Allah dicampur dengan maksiat. Itulah yang kami saksikan dengan mata kepala kami sendiri. Padahal sudah teramat jelas bahwa musik dan alat musik termasuk hal yang terlaknat karena masuk dalam kategori haram. Lihatlah dalam ayat Qur'an lalu kita menilik dalam kitab tafsir.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِينٌ وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah padanya dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 6-7). Ibnu Jarir Ath Thabariy -rahimahullah- dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para pakar tafsir berselisih pendapat apa yang dimaksud dengan
لَهْوَ الْحَدِيثِ “lahwal hadits” dalam ayat tersebut. Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah nyanyian dan mendengarkannya. Lalu setelah itu Ibnu Jarir menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf mengenai tafsir ayat tersebut. Di antaranya adalah dari Abu Ash Shobaa’ Al Bakri –rahimahullah-. Beliau mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu Mas’ud ditanya mengenai tafsir ayat tersebut, lantas beliau –radhiyallahu ‘anhu- berkata,
“Yang dimaksud (perkataan yang tidak berguna dalam ayat tersebut) adalah nyanyian, demi Dzat yang tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak diibadahi selain Dia.” Beliau menyebutkan makna tersebut sebanyak tiga kali. (Lihat Jami’ul Bayan fii Ta’wilil Qur’an, Ibnu Jarir Ath Thobari, 20/127)
Demikian pula dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa di zaman saat ini terlah terbukti nyanyian yang haram dikemas sedekimian rupa sehingga takbiran yang berbau musik pun dianggap halal, begitu pula nasyid islami yang menggunakan alat musik dianggap sama halalnya. Bukhari membawakan dalam Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain namanya” sebuah riwayat dari Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak berdusta, lalu dia menyampaikan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ - يَعْنِى الْفَقِيرَ - لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.” (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu’allaq dengan lafazh jazm/ tegas). Jika dikatakan menghalalkan musik, berarti musik itu haram. Hadits di atas dinilai shahih oleh banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259). Penilaian senada disampaikan An Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy Syaukani –rahimahumullah-.
Kita pun bisa melihat kalam para ulama yang menjelaskan tentang haramnya nyanyian dan alat musik.
Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.” Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.” Yazid bin Al Walid mengatakan, “Wahai anakku, hati-hatilah kalian dari mendengar nyanyian karena nyanyian itu hanya akan mengobarkan hawa nafsu, menurunkan harga diri, bahkan nyanyian itu bisa menggantikan minuman keras yang bisa membuatmu mabuk kepayang. ... Ketahuilah, nyanyian itu adalah pendorong seseorang untuk berbuat zina.” (Lihat Talbis Iblis, 289).
Imam Abu Hanifah membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya sebagai suatu perbuatan dosa. Imam Malik bin Anas berkata, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata budak tersebut adalah seorang biduanita (penyanyi), maka hendaklah dia kembalikan budak tadi karena terdapat ‘aib.” Imam Asy Syafi’i berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.” Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.” (Lihat Talbis Iblis, 280-284).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.” (Majmu’ Al Fatawa, 11/576-577).
Jadi amat disayangkan, takbiran yang berisi pengagungan pada nama Allah, malah menjadi malapetaka karena dihiasi dengan alat musik, alat yang jadi guna-guna setan. Sungguh amat menyayangkan kondisi umat Islam saat ini. Kenapa mereka tidak berdzikir dengan penuh khusyu sambil merenungkan maknanya di masjid dan di rumahnya, tanpa mesti keliling dengan membuat keributan dengan memukul alat-alat yang jelas Allah murka?

Mario Teguh 3

Cinta
Tiada yang bisa menyetarai keindahan
dan kekuatan cinta sebagai penghebat kehidupan.

Tapi,

...Tidak ada kegilaan yang menyamai cinta.

Dan,

Tidak ada yang lebih tergesa daripada cinta.

Maka,

Jika engkau sedang menyiapkan diri bagi cinta,
penuhilah hatimu dengan iman,
waspadakanlah logikamu terhadap muslihat
dan rayuan palsu,
dan dekatkanlah telingamu kepada ibu, ayah,
dan kakak-kakakmu yang bijak.

Berhati-hatilah dengan cinta.

Mario Teguh

Monday, 29 August 2011

Lagi, 2 Putra Bangsa Ukir Prestasi dalam Kompetesi al Qur`an Internasional di Cairo

Lagi, 2 Putra Bangsa Ukir Prestasi dalam Kompetesi al Qur`an Internasional di Cairo Sumber: Kairo, NU Online
Bersama 65 negara lainnya, Indonesia mengikuti kompetisi Internasional ke 19 Musabaqah Hifzi wa Tajwid Qur`an yang pada tahun 2011 ini oleh Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Mesir bekerjasama dengan al Azhar.

Dalam kompetisi yang dihelat di masjid An Nur Abbassea Cairo ini, dibagi dalam 5 cabang. Cabang pertama, hafalan, tajwid dan bacaan untuk 30 juz beserta tafsirnya; kedua, cabang  hafalan 30 Juz; ketiga, cabang hafalan 20 juz; keempat, cabang hafalan 10 juz dan kelima, cabang 5 juz.

Dari kelima cabang diatas, Indonesia mengutus 2 peserta untuk 2 cabang yang berbeda. Peserta pertama, ialah Asep Ismail dari Bandung berkompetisi dalam cabang paling bergengsi, yaitu; hafalan, tajwid, bacaan dan tafsirnya untuk 30 juz al Qur`an. Sebelumnya, ayah muda dua anak ini merupakan juara II dalam STQ Nasional yang diselengarakan di Banjarmasin pada juli 2011. 

Sementara, peserta lain, Muhammad Salim Ghazali asal Madura berkompetisi di cabang hafalan 20 juz. Dalam  satu tahun terakhir, Salim telah mengikuti kompetisi serupa berskala internasional, diantaranya juara I hafalan 20 Juz tingkat Asia Pasifik (2010) dan juara III hafalan 30 juz di Iran. Untuk tingkat Nasional, pada bulan Juli lalu, di Banjarmasin, ia menyabet juara I untuk hafalan 30 juz. 

Dalam kompetisi yang berlangsung dari tanggal 18 Agustus hingga 25 Agustus 2011 tersebut, Indonesia berhasil menyabet juara satu untuk cabang menghapal 20 Juz dengan total hadiah 35.000 Pound Mesir dan untuk cabang mengahapal dan memaknai berhasil menyabet juara harapan tiga dengan hadiah 15.000 Pound Mesir. Adapun pembagian hadiahnya diserahkan langsung oleh Dr Muhammad Abul Fadhil al Qushi, menteri Wakaf dan Urusan Agama Mesir pada malam  Jum`at sore (26/08) bertempat di Al Azhar Conference Center (ACC). Turut hadir pada malam penutupan tersebut, Grand Syaikh al Azhar, Prof Dr Ahmad Thoyib dan Mufti Mesir, Prof Dr Ali Jum`ah.

Di kesempatan yang lain (27/08), kedua putra terbaik Indonesia yang telah mengharumkan nama bangsa tersebut diundang oleh Kepala Kuasa Usaha Ad Interim (KUAI) KBRI Cairo, Burhanuddin Badruzzaman untuk singgah di Masjid Indonesia Cairo. Dalam kesempatan tersebut, selain diisi dengan ramah tamah dan demonstrasi kepiwaian keduanya dalam membaca al Qur`an, keduanya dihadiahi cinderamata oleh kepada KUAI.

Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: M Jamzuri

Yusriadi dan salah satu mahasiswa yang aktif di pramuka STAIN Pontianak

Saturday, 27 August 2011

Masjid Al Isra’ Pontianak Utara

Masjid Al Isra’ Pontianak Utara
Masjid Indah di Pontianak Utara
Oleh Andika Lay
Kehadirannya menarik perhatian. Letaknya di pinggir Jalan Khatulistiwa, Pontianak, membuatnya mudah dilihat. Apatah lagi, desain bangunannya yang indah.
Itulah masjid Al Isra’. Masjid ini tergolong masjid tua di Pontianak Utara. Pada masa awal, di wilayah Pontianak Utara, ada tiga masjid. Di wilayah Batu Layang ada masjid milik Kesultanan Pontianak, lalu Masjid Al Isra’ dan Masjid di Jalan Parwasal.
Menurut Kasman pengurus masjid Al Isra’, masjid ini dibangun tahun 1941. Dibangun di atas tanah wakaf. Waktu itu masih berupa surau.
“Surau ini berdiri di tanah wakaf milik Syarif Thaha Alkadrie, yang dihibahkan secara cuma-Cuma,” kata Kasman Simin, saat ditemui usai salat Jumat (19/8) di masjid Al Isra’.
Bangunan awal masjid berusia 70 tahun itu sesungguhnya jauh beda dibandingkan bentuk yang sekarang ini. Bentuk sekarang sudah mengalami 4 kali perubahan.
Surau pertama dibangun dengan beratap daun. Begitu juga dindingnya, ditutupi dengan atap daun juga. Waktu itu, ukuran surau itu masih kecil. Selain itu, di sekitar surau juga masih hutan.
Dalam perjalanannya sekitar 10 tahun, surau ini  berubah menjadi Masjid. Perubahan itu juga ditandai dengan perubahan fisik bangunan. Waktu itu, bangunan masjid sudah menggunakan papan.
Adapun bentuk masjid yang indah seperti yang terlihat sekarang ini, merupakan perubahan selanjutnya. Tahun 2000, Masjid ini dibangun baru setelah Ketua Pengurus Masjid ini dipimpin H Shodri, dibantu beberapa pengurus antara lain yaitu Wakil Ketua I, Alidin, Wakil Ketua II, Masrum, termasuk Kasman Simin di bagian Perlengkapan.
Masjid baru ini berdiri di lokasi yang sama dengan bangunan sebelumnya. Bedanya, bangunan baru ini ukurannya lebih luas serta bangunan kokoh, lantainya cor semen dan dilapisi porselin. Dinding juga semen dengan variasi jendela. Atap bangunan dari seng metal. Teras masjid ditinggikan dengan lantai porselin berwana coklat. Pilar masjid juga dibuat kokoh. Bangunan masjid menjadi lebih indah karena desain interior dan eksteriornya, berupa les ukiran dengan cat variasi warna coklat dan putih.
Menara di puncak masjid berbentuk bawang, berwarna hijau, dikombinasikan dengan kubah-kubah lain di empat sudut. Ada juga kubah hiasan di atas atap di pintu masuk.  Tempat wudhu’ juga tersedia di kiri masjid, plus wc-nya.
Yang juga khas dari masjid ini adalah adanya kuburan di belakang masjid. Ada ratusan batu nisan terpacak di sana.
Masjid dan kuburan ternyata memiliki hubungannya. Setidaknya menurut Kasman, selalu ada kejadian aneh di masjid.
“Masjid ini ada keajaiban. Setiap ada jemaah yang meninggal, sehari sebelumnya barang-barang di dalam masjid selalu berbunyi,” ungkapnya.

Masjid Jami’ Bengkayang

Masjid Jami’ Besar Bengkayang
Surau dan Masjid Pertama di Bengkayang
Oleh Mujidi
Masjid Jami’ Besar Bengkayang. Masjid ini  merupakan bangunan pertama dan bersejarah di Bengkayang. Bangunan yang awalnya hanya sebuah surau ataupun langgar yang diperkirakan berdiri pada tahun 1920 an. Sejak awal berdiri bangunan tersebut digunakan untuk Salat Jumat.
Siapa-siapa pemakarsa berdiri surau cikal bakal masjid Jami' hanya berupa perkiraan. Pasalnya mereka yang berjasa telah meninggal dunia. Mereka  yang masih ada hanya anak dan cucu mereka yang juga tidak mengetahui dengan pasti siapa pendiri surau tersebut.
"Semuanya sudah pada meninggal, saya cerita yang ingat-ingat jaklah ya," kata Ngadinun mulai bercerita. Dia pria lanjut usia yang saya temui di kediamannya, Jalan Singkawang beberapa waktu lalu.
Ngadinun lahir pada tahun 1926. Katanya, saat itu surau Jami, telah berdiri. Namun demikian, Ngadinun tidak ingat  siapa pendiri Surau itu.
'Saya tidak ingat pendirinya, yang saya ingat cuma tukang surau itu saja, mereka diantaranya adalah Mat Arif atau yang kami panggil dengan Wak Aek, kemudian ada juga Pak Yahya," ucap Ngadinun. Suaranya terdengar parau, putus putus, sesuai dengan umurnya yang mencapai delapan puluh tahun.
Cerita Ngadinun, waktu itu bangunan surau terbuat dari kayu, berbentuk panggung dengan kayu belian, berdinding papan dan atap sirap. Atap sirap itu terbuat dari kepingan kayu belian dan sudah jarang ditemukan pada zaman sekarang.
"Kira-kira besarnya bangunan surau sekitar 4x4 atau 4x6, dan suraunya tidak ada namanya," tambah pria kelahiran Bengkayang ini memperkirakan.
Bentuk surau sederhana itu dibenarkan Basirun. Pria kelahiran 1930 an ini mengatakan bangunan surau cikal bakal Masjid Jami' itu berbentuk limas. Bangunannya seperti rumah biasa dan tidak memiliki kubah.
"Dulu surau itu tempat kami main, semua kawan-kawan suka ngumpul di sana," kata pria yang pernah bekerja saat tentara Jepang menduduki Bengkayang ini.
Ngadinun dan Basirun sepertinya sepakat bahwa surau cikal bakal Masjid Jami itu merupakan surau pertama di Bengkayang yang saat itu masih sebagai daerah terpencil. Saat itu jarak antara surau yang satu dengan surau yang lain bisa mencapai tiga puluh sampai empat puluh kilo meter.
'Karena surau itu satu-satunya di Bengkayang, surau itupun sejak awal digunakan untuk menjalankan ibadah Salat Jumat," kata H. Jayadi  Bin H. Sulaiman.
Kata pria kelahiran 1944 ini, surau dibangun di tengah-tengah jumlah penduduk muslim yang baru mencapai 50 kepala keluarga. Pembangunan  surau itu dilakukan mengingat letak surau lain sangat jauh dari Bengkayang.
'Ada surau tapi di daerah Samalantan dan Sanggau Ledo, yang jaraknya dari Bengkayang sejauh tiga sampai empat puluh kilo meter," jelas Jayadi saat ditemui di kediamannya.
Lain halnya dengan Ngadinun dan Basirun, Jayadi memperkirakan surau cikal bakal Masjid Jami berdiri pada tahun 1927. Salah satu perintis surau itu adalah Wak Aek.
"Yang saya tahu, salah satu perintisnya adalah Wak Aek, Wak Aek ini sebagai penjaga atau pengurus masjid, dia yang azan, dia yang qamat, dia juga yang bersih bersihkan surau," kata Jayadi.
Bangunan Surau yang saat itu menjadi pusat pembelajaran Islam di Bengkayang bertahan hingga puluhan tahun, kemudian sekitar tahun lima puluhan, surau itu diubah menjadi Masjid, dengan nama Masjid Jami' Bengkayang.
'Sekitar tahun 1957-an surau diresmikan menjadi masjid, pelopornya  adalah Haji Muhammad. Masjid kemudian diresmikan dan ditandatangani Pak Ikram sebagai KUA Kecamatan Bengkayang," jelas Jayadi.
Kemudian pada tahun 1976, Surau yang telah berubah mejadi Masjid   tersebut dibongkar. Musni dan Karni, dua dari beberapa pengurus dan tokoh agama sebagai pelopor.  Kemudian, di lokasi yang sama dibuatlah sebuah Masjid pengganti dengan ukuran  kurang lebih 19 kali 23.
"Saat itu Masjid dibangunan  dengan kokoh, lantainya cor semen, berdinding semen dan beratapkan seng," jelas Jayadi, Ketua Pengurus Masjid Jami tahun 1990-2006 ini.
Karena semakin bertambahnya jamaah, perluasan Masjid terus dilakukan, termasuk pada tahun 1997. Saat itu bangunan diperluas menjadi 20 x 29 meter. Bentuk itu hingga saat ini  dengan daya tampung jamaah mencapai 500 orang.
Tahun 2005, pengurus masjid, tokoh agama, tokoh masyarakat kembali bersepakat untuk membangun Masjid Jami’ yang baru. Saat ini pembangunan Masjid itu sedang berlangsung. Pembangunan Masjid baru itu dilakukan di belakang Masjid Jami' yang lama. Bangun yang direncanakan berlantai tiga, lantai dasar untuk parkir, kemudian lantai atas dan selanjutnya untuk para jemaah menjalankan ibadah.
"Seraya menunggu Masjid Jami' yang baru itu, Masjid Jami' lama masih difungsikan untuk menjalankan ibadan dan kegiatan keislaman lainnya," jelas Jayadi, yang juga sebagai imam di Masjid Jami' ini.
Suparjo, yang juga Imam Masjid Jami' Bengkayang mengharapkan pembangunan Masjid Jami' berjalan lancar dan cepat. Karena itu, Parjo berharap semua umat Islam ikut berpartipasi dalam pembangunan Masjid kebanggaan itu.
"Masjid Jami' merupakan Masjid bersejarah, karena itu perlu dijaga dan dibangun dengan partisipasi bersama, partisipasi mayarakat muslim dan juga pemerintah," kata Suparjo menjelaskan.
Ketua Pengurus Masjid Jami' Bengkayang 2010-2014, B Sujoko, mengatakan, keberadaan Masjid Jami' kedepannya bukan hanya sekedar untuk tempat menjalankan ibadah salat lima waktu. Masjid itu akan dijadikan sebagai pusat pengembangan Islam atau Islamic Center. Keinginan itu seiring dengan bentuk bangunan Masjid itu sendiri. Masjid dibangun dengan ukuran 18 x 26 meter dan sebanyak tiga lantai.
'Untuk lantai dasar bisa kita jadikan sebagai tempat pengembangan Islam, mulai dari perekonomian, seperti warung serba gunan untuk kalangan jamaah dan berbagai macam kegiatan lainnya," kata Joko.
Kegiatan lainnya itu seperti pembinaan generasi Islam melalui remaja Masjid, Majlis Taklim, tempat bimibngan belajar,  serta beragam kegiatan lainnya. Itu bisa terwujud ketika pembangunan Masjid telah selesai. Saat ini, pembangunan Masjid baru berupa rangka kasar  mulai dari dasar hingga atas.
"Dengan pembangunan yang telah dilakukan, dana yang telah dipergunakan mencapai 350 juta rupiah. Perencaan awal, Masjid itu akan jadi  dengan perencanaan dana mencapai 1, 2 miliar rupiah. Untuk mencapai dana sebesar tersebut, pengurus dan panitia pembangunan masih memerlukan bantuan," jelas Kepala Sekolah di Kecamatan Teriak Bengkayang.
Panitia pembangunan Masjid itu dipimpin Ir. Uray Tomy. Oleh panitia, Masjid dibangun dengan gaya modern. Nantinya Masjid Jami' memiliki satu kubah utama denga dua menara. Bagian dalam Masjid terdapat enam tiang utama berbentuk tabung dengan diamater lebih dari setengah meter dan tinggi lebih dari 12 meter.
Maulana Al Mursyid Achmad, Seksi Dana Panitia Pembangunan Masjid Jami' menambahkan, pembangunan baru dilakukan sekitar 20 persen. Pembangunan itu baru berupa kerangka sebagian kecil dari bangunan yang direncanakan.
'Dari bangunan yang direncanakan seluas 18 kali 26 meter, yang baru terbangun baru 18 kali 10 meter. Bangunan itu juga masih berupa rangka,” jelas Maulana.
Maulana menambahkan, dana pembangunan Masjid Jami' yang tersisa hingga saat ini hanya sebesar delapan juta rupiah, karena itu pembangunan sementara waktu dihentikan.
'Pembangunan kembali akan dilanjutkan usai lebaran, dan itu tergantung anggaran dana yang dimiliki. Bagi mayarakat yang ingin menyumbang silahkan datang ke pantia pembangunan atau ke pengurus masjid, atau bisa mengirim lewat Rekening BRI Atas Nama Masjid Jami dengan Nomor Rekening 369901014976534," terang pria yang kerap dipanggil Mamas ini.
Azharudin Nawawi, selaku Kepala Kementerian Agama di Kabupaten Bengkayang, menyatakan komitmennya untuk membangun Masjid Jami'.
"Komitmen saya, begitu melihat kondisi Masjid Jami’ pada tahun 2005, saya pertama-tama melakukan konsultasi denga bupati lama, Jacobus Luna, terkait pentingnya pembangunan Masjid Jami'. Itu saya lakukan karena saya melihat kondisi Masjid Jami’ begitu memprihatinkan," kata Azharudin saat ditemui di ruang kerjanya.
Dengan konsultasi itu, Masjid Jami kemudian mendapatkan bantuan, namun karena kecilnya bantuan, pembangunan Masjid Jami  berlangsung begitu lamban.
"Selama lima tahun saya sudah berusaha mencarikan bantuan dari Pemerintah Daerah, namun bantuan itu juga diberikan secara bergilir antara satu masjid dengan masjid yang lain. Kemudian saya mencoba mancarikan bantuan dengan pemerintah pusat, itupun tidak begitu nyata karena nilainya tidak besar," jelas pria kelahiran Jakarta ini.
Azharudin menegaskan, Masjid Jami' merupakan Masjid bersejarah di Bengkayang. Masjid ini merupakan Masjid pertama hingga sangat monumental. Karena monumental itu, pembangunan Masjid Jami' tidak bisa dipindahkan ke lokasi lain.
"Walaupun lokasi sempit, pembangunan Masjid tidak bisa dipindahkan ke lokasi lain. Kalau lokasinya dipindahkan, maka sejarah Masjid Jami' itu akan hilang," terang mantan Guru SMPN 1 Rasau Jaya, Kubu Raya ini.
Satu lagi yang penting untuk dipertahankan, Agar sejarah Masjid jami tidak hilang, maka menurut Azhar harus ada bagian masjid lama yang harus dipertahankan, salah satunya adalah menara Masjid Jami’.
*[Masjid Jami Masih Memerlukan Dana besar. Rekening: BRI Cabang Bengkayang, 369901014976534, atas Nama Masjid Jami].

Masjid Sirajul Islam

Masjid Sirajul Islam
Sempat Jadi Masjid Percontohan
Oleh Rosalinda
Masjid Sirajul Islam dulunya adalah langgar atau surau, yang kemudian berubah menjadi masjid yang kokoh.  Sirajul Islam yang terletak di depan Gang Belibis, Jalan Merdeka Pontianak didirikan pada tahun 1936, yang silam.
Pada awalnya, bangunan fisiknya terbuat dari kayu. Kemudian pada tahun 1960 langgar atau surau Sirajul Islam dibangun menjadi Masjid dengan menggunakan semen biasa.
Lalu pada tahun 1980 Sirajul Islam akan direncanakan dibongkar lagi. Perencanaan pembangunan ini dirapatkan di rumah Alm. Usman Mahfud. Pada tahun 1985 Masjid Sirajul Islam dibongkar habis. Pada tahun itu masjid dibangun menggunakan beton dan masjid menjadi dua tingkat. Akhirnya pada tahun 1995 Masjid Sirajul Islam berubah sedikit karena masjid diberi porselen sampailah sekarang.
Salah satu Pengelola Masjid Sirajul Islam, H. Burhan Sattar mengatakan luas bangunan panjangnya kurang lebih 30 meter persegi, dan lebarnya 30 meter persegi.
“Penggunaan masjid adalah untuk salat Jumat, untuk pengajian ibu-ibu, Taman Pendidikan Al Quran (TPA),” kata Burhan yang ditemui di rumahnya. Selain itu masjid Sirajul Islam juga ada organisasinya yakni yayasan Masjid Sirajul Islam, kemudian berubah menjadi Badan Wakaf Sirajul Islam.
Burhan menjelaskan bangunan masjid ini kebanyakan dibiayai dari masyarakat yang tinggal mulai dari Jalan Merdeka sampai rumah sakit Antosius. Sedangkan ahli bangunannya asli dari warga Jalan Merdeka, yang bernama  Alm. Abdul Bakar. Selain itu Burhan juga menjelaskan  pengelola masjid yang pertama sudah meninggal semuanya, yakni Ustad Hamid, kemudian diganti Awang Bakar, dan selanjutnya diganti oleh H. Abdul Syukur Bandrie. Abdul Syukur kemudian diganti Ahmad Mutadar.
Menurut cerita Burhan, Masjid Sirajul Islam sempat sebagai percontohan, karena   masjid ini mempunyai radio amatir yang menyampaikan syiar Islam, tapi disayangkan radio tidak aktif lagi diakibatkan Pemilu pada tahun 1955 sampai sekarang. Selain itu kata Burhan masjid ini sempat tersohor karena jumlah gurunya banyak, seperti ustad Mahfud, Junaidi Sattar, Ustad Hamid, Awang Ali Abdulah, Awang Bakar, Sy Yusuf Al Qadrie dan Ahmad Mutadar. 
Burhan mengatakan ada yang paling berkesan tentang masjid itu.
“Yang paling berkesan bagi saya adalah nama Sirajul Islam yang tetap tidak berubah meskipun sejak awal surau hingga menjadi masjid. Nama Sirajul Islam terukir di atas kayu, tapi kayu itu sudah tidak ada lagi,” jelasnya.
Ukiran kayu itu dibuat oleh pendiri masjid yang pertama. Sekarang ini nama Sirajul Islam menggunakan tempel logam yang ditempel di depan masjid.

Masjid Besar Nikmatullah Sungai Pinyuh

Masjid Besar Nikmatullah Sungai Pinyuh
Pusat Persinggahan
Oleh  Johan Wahyudi
Masjid Besar Nikmatullah Sungai Pinyuh didirikan sejak tahun 1966-an. Masjid ini, berada di pinggir jalan raya, tidak jauh dari pusat kota Kecamatan Sungai Pinyuh, Kabupaten Pontianak. Masjid yang menjadi kebanggaan masyarakat Sungai Pinyuh ini, diresmikan pada era kepemimpinan Camat Gusti Amiruddin Hamid.
“Pada tahun 1966, masjid ini dibangun. Dimana masjid ini, dibangun dengan semangat gotong royong masyarakat Sungai Pinyuh. Dengan cara mengumpulkan bahan bangunan dari masyarakat per RT. Pembangunan masjid juga dilaksanakan secara bergotong royong," kata Imam Masjid Besar  Nikmatullah Sungai Pinyuh, Ibrahim Arahman, ditemui di Sekretaris Masjid, Sabtu (27/8), kemarin.
Tempat yang strategis tersebut, membuat masjid yang memiliki empat pilar, dengan seluruh dinding dan lanti dilapisi keramik, serta mimbar dari kayu jati dengan ukiran yang indah, selalu menjadi pusat persinggahan bagi umat muslim dari berbagai kabupaten kota di Kalbar, bahkan warga negara tetangga Malaysia dan Brunai Darussalam untuk melaksanakan ibadah salat.
“Mungkin tempatnya yang strategis di pinggir jalan dan dekat pusat kota Sungai Pinyuh, sehingga saat masuk waktu salat, masyarakat muslim yang melaksanakan perjalanan singgah untuk melaksanakan ibadah di sini. Bahkan sering kali, warga Malaysia dan Brunai salat di sini,” kata Pak Yem, sapan akrab Imam Masjid ini.
Dan berjalannya waktu dan meningkatknya jumlah jamaah yang melaksanakan ibadah, masjid yang memiliki luas bangunan sekitar 20 x 20 meter, luas area 40 x 40 meter, telah dilaksanakan rehab sebanyak dua kali pada tahun 1994 dan 1998.
“Alhamdullilah, bangun masjid ini semakin baik dari waktu ke waktu. Sekarang seluruh fasilitas masjid bisa dibilang lengkap. Baik tempat wudhu perempuan dan laki-laki sudah berpisah, sekretariat masjid dan remaja masjid, tempat parkir, bahkan tempat penitipan barang juga ada. Itu semua demi keyamanan, masyarakat yang beribadah di masjid ini,” katanya.
Bahkan masjid yang memiliki atap bangunan berbentuk prisma, dengan kubah bulat tersebut, telah menjadi pusat pendidikan Islam bagi masyarakat setempat. Dimana selalu mengadakan pengajian, bahkan ceramah-ceramah agama dengan menghadirkan ustadz-ustadz kondang untuk memberikan tausyiah pada saat hari-hari besar agama Islam.
“Masjid ini, juga menjadi pusat pendidikan bagi umat muslim, khususnya di kecamatan Sungai Pinyuh. Apalagi di bulan puasa ini, berbagai kegiatan kita laksanakan. Seperti pesantren kilat, tadarus Al Quran, tausiyah Subuh dan berbagai kegiatan lainnya,” kata Ibrahim.

Masjid Ikhwanul Mukminin

Masjid Ikhwanul Mukminin
Nuansa Persatuan dalam Persaudaraan
Oleh Widi Aryadi
Bermula dari sebuah surau kecil yang telah mengalami dua kali perpindahan lokasi, masjid Ikhwanul Mukminin berdiri. Suasana keberagaman masyarakat Sungai Raya Dalam yang cinta pada agamanya. Dengan niat itu pulalah masyarakat berupaya mendirikan sebuah masjid.
Setelah lokasi tanah terpilih oleh para pemuda dan masyarakat, akhirnya tahun 1929 tokoh masyarakat Sungai Raya dalam berangkat ke Tanjung Saleh yang letaknya di seberang Sungai Kakap. Keberangkatan para tokoh masyarakat tersebut dikarenakan salah seorang pemuka masyarakat di daerah tersebut menjual rumahnya yang terbuat dari kayu belian dan kayu jenis tekam. Kemudian setelah disepakati harga, kayu dari rumah tersebut pun dibeli dan dibawa ke Sungai Raya Dalam. Dengan kayu-kayu dari rumah tersebut, para tokoh masyarakat Sungai Raya Dalam tempo dulu mendirikan masjid yang diberi nama masjid “Ikhwanul Mukminin”.
Pemberian nama “Ikhwanul Mukminin” tersebut memiliki kandungan yang sangat dalam. Tingginya semangat kebersamaa dan rasa gotong royong yang tanpa pamrih menjadikan masyarakat Sungai Raya Dalam terpaut dalam persatuan yang kokoh dan persaudaraan yang sejati. Hal tersebut tergambarkan dalam pembangunan masjid tersebut. Tidak hanya kaum lelaki yang bekerja, namun kaum ibu-ibu yang turut ambil bagian terutama dalam mempersiapkan makanan dan minuman bagi kaum pria yang bekerja.
Jarak tempuh dari Sungai Raya Dalam ke Tanjung Saleh yang memerlukan waktu dua hari dua malam dengan menggunakan tongkang pengangkut kelapa kering, tidak terlalu terasa berat atas adanya kaum ibu-ibu yang menyiapkan makanan dan minuman.
Makna yang terkandung sangat dalam itulah menjadi dasar pemikiran pemberian nama masjid itu dengan nama “Ikhwanul Mukminin” dengan maksud agar keberadaan masjid tersebut senantiasa memberikan nuansa persatuan dalam persaudaraan sekaligus nuansa persaudaraan dalam keadilan terutama bagi orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Sumber persaudaraan itu harus bermula dari dorongan pribadi, kemauan yang betul-betul merdeka dan jiwa yang hanya mengenal Allah saja. Karena itu, Islam meletakkan keadilan berdampingan dengan ukhuwah (persaudaraan), dan persaudaraan itu sendiri tidak akan berdiri kokoh kecuali didasarkan atas keadilan.
Pendirian masjid berukuran 12x12 M2  pada tahun 1929-1930 termasuk besar ketika itu. Masjid ini juga termasuk salah satu masjid tertua di Pontianak, dengan masjid sebelumnya Masjid Syakirin, Masjid Taqwa Mariana dan Masjid Al Karim Kampung Saigon.
Pendirian masjid ketika itu juga dikarenakan umat Islam yang berada di Sungai Raya Dalam melaksanakan salat Jumat di Masjid Djami’ Sultan Abdurrachman yang dibangun oleh pendiri Kota Pontianak, Sultan Syarif Abdurrachman Al-Kadri pada tanggal 23 Oktober 1771.
Diceritakan, umat muslim Sungai Raya Dalam ketika itu untuk melaksanakan salat Jumat di Masjid Djami’ dilakukan sejak pagi hari pukul 07.00. Mereka berangkat menggunakan sampan untuk melaksanakan salat Jumat dengan membawa hasil kebun mereka. Setelah salat Jumat, mereka singgah ke pasar untuk menjual hasil kebun mereka, mereka juga berbelanja untuk keperluan mereka di rumah selama satu minggu. Kehadiran masjid di kawasan Sungai Raya Dalam sekaligus memperoleh izin dari Sultan Muhammad ketika itu, disambut dengan suka cita dan rasa bangga oleh umat muslim di sekitarnya.
Sejak pertama kali dibangun pada tahun 1929 hingga 1999, Masjid Ikhwanul Mukminin sudah mengalami empat kali rehab. Rehab yang pertama dilakukan pada tahun 1956, rehab ke dua pada tahun 1975, dan rehab yang ketiga dilakukan pada tahun 1987. Rehab yang ke  empat dilakukan rehabilitasi total yaitu pada tanggal 1 Muharram 1420 H yang bertepatan dengan tanggal 16 April 1999 dimana peletakan batu pertama dilakukan salah seorang pendiri masjid, H Ali Lakana.
Dan kini, Masjid Ikhwanul Mukminin juga sedang melakukan pembangunan di samping masjid tersebut. Rencananya sebuah tower dengan tinggi sekitar 16 meter akan dibangun agar masyarakat bisa lebih mengetahui ketika sudah masuk waktu salat.
Masjid Ikhwanul Mukminin yang berada di Sungai Raya Dalam tersebut memiliki banyak kegiatan ketika bulan suci Ramadan. Hampir setiap malam diadakan kajian rutin mulai dari salat Magrib hingga salat Isya. Setiap hari, masjid tersebut menggelar buka puasa bersama dengan masyarakat sekitar mau pun masyarakat pendatang, bahkan setiap Subuh diadakan kuliah Subuh.
Masjid Ikhwanul Mukminin juga memiliki remaja masjid, berbagai kegiatan dilakukan remaja masjid tersebut. Pada bulan Ramadan, remaja masjid diperbantukan menjual juadah di depan masjid untuk memudahkan masyarakat sekitar mencari panganan berbuka. Setiap harinya selama bulan Ramadan, masjid digunakan oleh pihak sekolah mau pun masyarakat untuk diadakan pengajian, pesantren kilat dan lainnya.

Masjid Baiturrahman Pontianak


Masjid Baiturrahman Pontianak
Masjid Musafir
Oleh Abdul Khoir
Suara klakson kendaraan nyaring membuat kekhusu’an beribadah jamaah salat Zuhur di Masjid Baiturrahman Jalan Tanjung Pura Pontianak Selasa (24/8) siang lalu, terganggu.
Masjid yang peletakan batu pertamanya dilaksanakan tepat pada 18 Maret 1963 itu, posisinya tepat di sisi ruas jalan tersibuk di Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat, dan bahkan dinding tempat jamaah mengambil air wudhu’ langsung berbatasan dengan trotoar jalan.
“Dulu tidak sedekat ini, tapi lambat laun ada pelebaran jalan jadi makin mempet dengan jalan,” kata Mas Pur, salah satu pengelola masjid yang ditemui Selasa itu.
Masjid yang selain semakin dihimpit oleh badan jalan ini, juga terkesan dihimpit bangunan lain. Masjid semakin tidak terlihat karena tertelan tingginya bangunan di sisi kanan dan kirinya, sehingga jika tidak memperhatikan dengan seksama atau tidak hafal benar dengan posisi masjid, maka tidak jarang akan kelewatan.
Dari sisi arsitektur, masjid ini terlihat seperti arsitek zaman dahulu. Model ini mungkin terlihat megah dengan kubahnya yang menjulang di era tahun enam puluhan. Masjid yang memiliki 16 tiang yang terbuat dari beton cor itu membuat masjid yang hanya berukuran 20 x 25 meter persegi itu semakin terasa sempit.
Tapi itulah keunikan masjid ini. “Salah satu keunikannya ada di tiang penyangganya, karena jumlahnya sampai enam belas buah walau ukuran masjidnya kecil,” ungkap Mas Pur.
Selain itu, masjid yang resmi dipergunakan tiga tahun setelah peletakan batu pertama itu, ternyata menjadi salah satu masjid tua yang sering dikunjungi wisatawan manca negara terutama Malaysia dan Brunai Darusalam.
“Sering ada tamu dari Malaysia dan Brunai,” imbunya sesaat sebelum salat Zhuhur itu.
Walau warna cat di dinding dan pintu memang terlihat kusam, namun setiap waktu salat, masjid ini tampak penuh dengan jamaah yang sebagian besar adalah para pedagang dan pegawai di toko-toko di sekitar masjid.
“Masjid ini sering dijadikan tempat salat para pedagang, dan tidak jarang para pedagang menyebutnya masjid musyafir,” katanya.

Masjid Agung Al Falah

Masjid Agung Al Falah
Basis Ulama Kota Pontianak
Oleh Rosalinda
Masjid Agung Al Falah sangat erat kaitannya dengan kemunculan beberapa ulama kebanggaan masyarakat muslim Kota Pontianak. Ulama yang dikenal yang pernah menjadi Pembina dan pengurusnya masjid ini antara lain, Syekh Shaleh al-Haddad, KH. Mukhlis, Sya’rani Bajuri, dan KH.Abd Rajak Amin. Termasuk juga iman besar masjid hari ini KH. M. Zaini Djalaluddin HAS, Lc.
Menurut Ketua Umum Masjid Al Falah, Ambo Ali H. Husein, masjid yang terletak di Jalan H. Rais A. Rahman, persis di depan persimpangan Jalan KH. Wahid Hasyim, berdiri sejak tahun 1950 an. Awal pendiriannya waktu itu masih berbentuk surau dan luasnya tidak seperti sekarang ini. Beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat sebagai pelopor berdirinya antara lain, H. M. Tahir, H. M. H. Husein, H. Abd Ghani, H. M. Zawawi, Anwar Ja’far.
Kata Ali tanah yang ditempati berdirinya surau adalah wakaf dari pak Bagong.
“Jika dilihat dari sisi waktu berdirinya masjid ini termasuk masjid yang tertua kedua di seluruh Wilayah Pontianak Barat, setelah masjid Sirajul Munir,” kata Ali saat ditemui di rumahnya.
Ali memaparkan dalam perkembangannya Masjid agung Al Falah ini sudah empat kali renovasi, terakhir tahun 2001-2004, yang mengalami perkembangan yang sangat maju dibandingkan dengan sebelumnya. Renovasi ini, bangunannya berlantai tiga dengan kubah warna kuning emas dan menara yang menjulang tinggi. Kubah emas itu dipesan langsung dari Korea atas bantuan dari H. Oesman Sapta Odang, dan arsitekturnya adalah Ir. H. Said Ja’far (mantan kepala PU Kalbar).
Dia menjelaskan, lantai satu dan dua masjid dipergunakan untuk kegiatan ibadah salat, terutama pada bulan Ramadan. Lantai satu untuk jamaah laki-laki, dan lantai dua untuk jamaah perempuan.  Sedangkan lantai tiga dipergunakan untuk kegiatan Taman Pendidikan al Quran (TPQ/TPA). TPA ini berdiri sejak tahun 1980 an, dan sekarang dikelola oleh Ibu Hj. Nurlaila, BA dan Titik Aminah. Kecuali pada acara salat Idulfitri dan Iduladha semua lantai digunakan untuk salat.
“Mesjid agung ini dulunya pernah memiliki perpustakaan, karena tidak ada pengelolanya, maka sekarang lagi macet atau ditiadakan,” jelasnya.
Lebih lanjut Ali mengatakan kepengurusan masjid ini berbentuk lembaga yang periodisasinya dipilih setiap lima tahun sekali. Sejak tahun 1993 sampai 2010, kepengurusannya sudah terdaftar oleh Akta Notaris yaitu agung Sri Sadhono, SH. Dengan SK. Menkeh. No c.39 HT.03.02.Th.2003.
Formasi pengurus lembaga masjid agung Al Falah sesuai akta Notaris.
No
Nama
Jabatan
Keterangan
1.
KH. M. Zaini Djalalauddin HAS,Lc
Penasehat
Pengurus lembaga
2
Ust. H. M. Nur Fattah
penasehat
Sda
3
Drs. H. Musa Muhammad
penasehat
Sda
4
H. Anwar Dja’far
penasehat
Sda
5
H.M. Rafi’ei H. Husein
penasehat
Sda
6
H. M. Syu’ib Karim
Pembina
Sda
7
H. Mansyur H. Djalaluddin
Pembina
Sda
8
Drs. H. Agung Salim, MM
Pembina
Sda
9
H. Ambo Ali Husein
Ketua umum
Sda
10
H. Achmad Syatibi
Bendahara
Sda
11
Drs. H. Sumar’ih
Sekretaris
Sda
12
H. Ridwan AS
Ketua idarah
Sda
13
Ust. H. Usman Rolibi HS, S.Pd. I
Ketua imarah
Sda
14
H. Achamad Tabrani H. damhar
Ketua riayah
Sda
15
H. Abusamah H. Basirun, SE.MM
Ketua bid. usaha
Sda

Selanjutnya aktivitas di masjid ini didalam bentuk pengajian rutin, yakni setiap Rabu malam antara Magrib dan Isya dalam bentuk tanya jawab. Selain pengajian dan ceramah tersebut juga ada pengelolaan Taman Pendidikan Al Quran yang berdiri sejak tahun 1980 an sampai sekarang, serta kegiatan sosial lainnya. Pada prosesi salat Jumat juga banyak karakteristiknya yang khas, yakni sebelum khatib naik mimbar, maka diawali dan diantar dengan bacaan ma’asyiral yang berbahasa Arab oleh petugas tersendiri untuk mengingatkan jamaah agar diam pada saat khutbah berlangsung dan memperhatikan dengan serius pesan-pesan khutbah Jumat.
Sambung Ali, petugas pembaca ma’asyiral menyerahkan tongkat kepada katib sebelum naik mimbar. Lebih khasnya lagi adalah disediakannya baju khusus yang akan dipakai khatib, imam, dan muadzdzin, sehingga tampak berbeda dengan jamaah lainnya.
Ali menambahkan di Masjid Agung Al Falah ada beberapa jamaah yang tergabung dalam pengelola fardhu kifayah. Jika ada salah seorang warga di Sungai Jawi khususnya yang ada di sekitar masjid tersebut, maka mereka mempercayakan kepada tim yang ada di Masjid untuk mengurusi semua kegiatan yang berkaitan dengan urusan fardhu kifayah.
“Masjid ini sudah menyediakan mobil ambulance untuk keperluan jamaah yang membutuhkannya,” ungkapnya.

Masjid Jami’ Darussalam Kedamin

Masjid Jami’ Darussalam Kedamin
Cerminkan Arsitektur Melayu
Oleh Viodeogo
Suasana sore hari semakin ramai. Warga tua-muda datang membeli panganan berbuka puasa. Pedagang-pedagang berbagai macam makanan dari kue-kue ringan, lauk pauk dan minuman seperti air kelapa, sirup, kolang-kaling hingga cendol berjualan di pinggir kiri kanan jalan Kedamin Putussibau, Lintas Selatan Kapuas Hulu.
Sambil memilih-milih santapan untuk berbuka makanan, terdengar suara ceramah dari masjid kecil, jaraknya antara pedagang makanan berbuka puasa dengan masjid sekitar 10 meter saja. Suara itu tak asing lagi bagi sebagian telinga masyarakat. Intonasinya begitu bersemangat. Suara tertawa renyah keluar dari yang mendengarnya.
Pemilik suara khas itu KH. Zainuddin MZ, Ustadz yang sering tampil di tv. Ia dikenal Dai’ Sejuta Umat. Suaranya sampai bisa didengar hingga beberapa radius puluhan meter jaraknya.
Asalnya dari Masjid Jami’ Darussalam. Masjid yang memiliki nilai sejarah bagi masyarakat Putussibau dan Kedamin.
Masjid Jami’ Darussalam merupakan salah satu masjid di Putussibau yang tidak dapat dipisahkan dengan perjalanan masyarakat Putussibau baik dari aspek filosofi, geografis, hingga antropologi masyarakatnya. Ia memiliki jejak rekam sewaktu masa pendirian pembangunannya.
Seseorang yang tahu betul masjid itu berdiri sekaligus pula saksi  sejarah berkenan bercerita, namanya Muhammad Thaib Noeh. Ia penasehat pengurus Masjid tersebut. Ia merupakan orang yang langsung turun tangan sendiri turut berandil besar berdirinya masjid sederhana namun memiliki nilai sejarah tinggi itu.
Ia adalah generasi pertama saat Masjid Jami’ Darussalam didirikan pada tahun 1984 di bulan Maret kala itu. Dengan lugas ia bercerita, membuka memori kembali 27 silam lalu. Haji Thaib, sapaan akrab warga Jamaah Kedamin ditemani H. Mukhtaruddin wakil ketua pengurus mulai bertutur.
Di Putussibau pernah berdiri Masjid Jami’ Nurul Islam, berada di Kampung Tanjung Jati. Masjid itu pun terkenal dengan sebutan Masjid Tanjung Jati. H. Thaib tidak tahu pasti, kapan tahun berdiri masjid itu. Arsitekturnya sangat unik, nafas Melayu terukir di masjid itu. Masjid Tanjung Jati menjadi rumah ibadah favorit jamaah.
“Sejuk saat berada di dalamnya, karena lantai serta dinding dari kayu,” kata H.Thaib, usianya sudah melewati angka 60.
Dari berbagai wilayah Putussibau dan sekitarnya orang rela mengayuh sampan, melawan arus dengan niat dapat bersembahyang di masjid itu. Dulu Putussibau masih terbelah oleh sungai, tidak ada penghubung darat. Sehingga yang dari Kota Putussibau rela mengayuh sampan menuju ke masjid. Begitu juga dengan H.Thaib bersama orang tuanya alm. H. Hasan Adenan berasal dari Kedamin mengayuh sampah menyeberang sungai ke arah Kampung Jati.  Usia H. Hasan Adenan sudah tidak kuat lagi untuk mengayuh sampan menuju Masjid Tanjung Jati.
Bersama H. Hasan Adenan, Muhammad Harlan, dan Muhammad Ali Bujal yang merupakan warga Kelurahan Kedamin mengusulkan kepada pengurus Masjid Tanjung Jati agar di Kedamin berdiri masjid. Pertimbangannya tak lain karena sudah tidak kuat lagi mengayuh sampan menuju Masjid Tanjung Jati. Masjid Tanjung Jati memang dulu menjadi pusat jamaah yang mayoritas berasal dari Kedamin dan Kelurahan Teluk Barak. H. Thaib pada tahun 1984 bersama-sama dengan orang-orang tua Kedamin Hilir, meminta izin kepada pengurus Masjid Tanjung Jati yang sudah dianggap sebagai orang tua sendiri seperti H. Subir, Abang Husman, agar di Kedamin Hilir didirikan Masjid.
Permintaan itu dikabulkan. Tak perlu waktu lama untuk membangun masjid itu. Tinggal mencari lokasi tanah yang tepat mendirikan bangunan masjid. Pemrakarsanya juga dari Wan Abdullah Mahdi sebagai Kepala Kelurahan supaya dibentuk panitia pendirian masjid baru. Bulan Maret 1984, panitia dibentuk dengan ketua adalah Drs. Mustaan Hasnan.
Dana hampir 75% untuk pembangunan mayoritas berasal dari swadaya masyarakat. Kurang dari setahun, di tahun 1985 berdiri bangunan masjid yang diberi nama Masjid Jami’ Darussalam. Kecil, sederhana, dan tidak megah. Tapi nilai bangunannya merupakan cerminan atau duplikat masjid-masjid sederhana lain di Kapuas Hulu yang didirikan sekitar tahun 1970-1980an. Masjid Jami’ Darussalam menggunakan Kayu Belian sebagai tiang pondasi agar kokoh, termasuk kelas kayu istimewa tak ada yang bisa mengalahkannya. Lantai dari kayu, kiri-kanan barulah menggunakan kayu kelas 1.
Keunikkan dari masjid ini terletak di muka pintu utama. Bila mengadah kepala ke atas, tampak ukiran khas Melayu seperti yang tampak di rumah-rumah Melayu di Kapuas Hulu. Masuk ke dalam udara sejuk terasa di ruang untuk berjamaah. Lantainya yang sejuk terbuat dari kayu. Seiring perkembangan waktu, dengan pertambahan jumlah penduduk, tahun 2006 pernah dilakukan rehab.
Seiring perkembangan penduduk pula, di mana masjid tidak dapat lagi menampung banyaknya jamaah. Masjid Jami Darussalam dengan ukuran 18x22 meter berjumlah lebih 500 orang itu akan diganti bangunan baru dengan daya tampung kurang lebih dari 5000 orang. Kerangka-kerangka bangunan masjid baru sudah dibangun tepat di belakang bangunan masjid lama. Saban hari, pekerja bangunan masjid mengangkut semen.
“Lebaran tahun depan mudah-mudahan ini sudah selesai,” kata Mukhtaruddin.
Masjid bangunan baru itu nanti, dibangun dengan tingkat 2. Akan ada bangunan khusus pengajian, perpustakaan, dan TPA.
Bulan puasa menjadi bulan yang ditunggu-tunggu khusus bagi jamaah Masjid Jami’ Darussalam di Kedamin Hilir ini. Satu kekhasan selama bulan Ramadan dari masjid ini dibandingkan masjid lain baik di Kota Putussibau maupun di tempat lainnya di Kapuas Hulu adalah jumlah rakaat selama Tarawaih. Masjid Jami’ Darussalam melaksanakan 20 rakaat. Kegiatan-kegiatan lain selama bulan Ramadan sama dengan masjid lainnya seperti Tadarus.  
Di tahun depan pula, bila tidak ada halang rintang suara dari Alm. KH. Zainuddin MZ dari pengeras suara tidak lagi berasal dari Masjid Jami’ Darussalam yang kecil bersejarah ini. Tapi berasal dari Masjid yang lebih besar lagi bangunannya yang dapat menampung jamaah dalam jumlah yang lebih besar.