Tahajjud Yuk!
“Ngantuk sangat euy.....!”ucap Ratih setengah berteriak sambil mengucek-ngucek matanya yang telah memerah menahan kantuk.
“Tidur aja dulu Jeng, ntar baru dilanjutin lagi” saran dari Raya kepada sahabatnya itu.
“Tanggung Jeng, takut gak keburu.”
“Tapi istirahat aja dulu kali Jeng, barang 10 menit gitu... Ntar kalau dah keletihan sangat, terus jatuh sakit, gimana coba? Yang ada ntar malah gagal sidang skripsi. Hum, Nunda donk dapet gelar S.Kom.I.” kembali Raya menceramahi sahabatnya yang seminggu lagi akan sidang skripsi.
“Kalau dapet gelarnya ditunda, nikahnya juga bakal ditunda donk” goda Raya.
“Ah, bisa aja. Lagian siapa juga sih yang mau nikah cepet-cepet.”
“Eits....tidak kah......” kata-kata Raya terhenti karena HP ber-Casing Ungu di samping Laptop Ratih dengan warna senada pula itu, berdering kencang.
“Stop Jeng ya ceramahnya, lanjutin nanti aja. Tahajjud dulu yuk” ajak Ratih pada Raya. Begitulah Ratih, sesibuk apapun ia tetap mementingkan ibadah. Sejak aliyah dulu, ia selalu memasang alarm di Hpnya tepat pukul 02:00 sebagai waktu Qiyamullailnya.
***
Matahari begitu taat akan titah Tuhannya, begitu pula Ratih yang selalu mendamba menjadi hamba yang masuk dalam rumpun hamba-hambaNya yang beriman. Itulah kemiripan antara Raya dan Matahari, selalu ingin dekat dengan Penciptanya, yakni Allah Azza wa Jalla.
Hangatnya sapaan Matahari pagi ini mengiringi perjalanan Ratih menuju kampus Biru. Hari ini Ratih ingin kembali berkonsultasi dengan dosen pembimbingnya. Ratih benar-benar ingin mematangkan persiapan sidang skripsinya nanti.
“Asssalamu’alaikum..” ucap Ratih sambil mengetuk pintu ruang tugas Pak Abdul Mukti, dosen pembimbingnya.
“wa’alaikumsalam, masuk” terdengar jawaban singkat dari dalam ruangan itu.
Hati Ratih berdebar, ia dipersilahkan masuk sementara ia takut kalau di dalam hanya ada Pak Mukti (sapaan akrab untuk Pak Abdul Mukti) sendiri. Pasalnya pintu itu tertutup rapat. Kalau ia masuk begitu saja, ia khawatir akan mengundang fitnah. Sangat tidak baik kalau seorang wanita dan pria yang bukan muhrim berdua-duaan dalam ruangan. Meski ruang terbuka sekalipun. Apatah lagi Pak Mukti, sarjana S2 lulusan UIN Bandung itu masih lajang. Ratih ragu dan bingung, apakah harus melangkahkan kaki ke depan ataukah ke belakang.
“Masuk gak ya...gak usah ajalah..tapi harus sekarang juga konsultasinya. Tapi...kalau malah ngundang fitnah gimana??? Waduh.....gimana ya...?” debat Ratih dalam hatinya.
Ratih masih terdiam di depan pintu.
“Ya udah lah, nanti aja. Tunggu ada orang lain di ruangan Pak Mukti.”
Akhirnya Ratih memilih melangkahkan kakinya ke belakang, meninggalkan ruangan Pak Mukti.
***..bersambung....
(Sob...sile sambung kelanjutannye...cukup la tu muqaddimah dari mita.....lanjutkan ye...)
No comments:
Post a Comment